Senin, 09 September 2013

Michael Jordan: Sebuah Cerita Tentang Sang Legenda







Permainannya bukan hanya spektakuler, caranya bermain akan menghipnotis siapapun di dunia. Kerja kerasnya bagaikan mengubah dunia olah raga. Siapapun ingin menjadinya dan siapapun ingin mengalahkannya. Itulah Michael Jeffrey Jordan, legenda basket asal Amerika Serikat yang menjadi inspirasi semua pemain basket, bahkan atlet di seluruh dunia. Memulai karirnya pada 1984 dan bergabung bersama Chicago Bulls hingga 1998. Selama kariernya, ia telah berhasil mengoleksi enam gelar juara dan lima kali berhasil meraih lima gelar MVP regular. Ia akhirnya pensiun dari NBA pada tahun 2003 setelah sempat bermain bagi Washington Wizards. Saat ini ia tercatat sebagai pemilik dari tim NBA, Bobcats.


Kariernya yang luar biasa dan berlimpah gelar ternyata tidak memiliki awal yang mulus. Saat ia masih kecil, ia hanyalah pemain guard biasa tanpa kelebihan yang signifikan dari pemain lainnya. Bahkan pelatihnya saat ia masih remaja mengakui Jordan hanya pemain biasa saja. Selain bermain basket, ia juga menjadi atlet olah raga baseball saat masih muda, namun prestasinya juga biasa-biasa saja. Pelatih baseball Jordan mengakui prestasinya sebagai pemainnya tidak memiliki prestasi yang menonjol.

"Saya melatih Michael saat dia berusia 13, 14, dan 15 tahun. Semasa remajanya, Michael bukanlah seorang juara. Dia hanya remaja biasa yang bermain di liga junior, tetapi sangat bebas dan kompetitif," kata Richard Neher, pelatih baseball Jordan kecil saat ada di Liga Babe Ruth.

Sementara di olahraga basket, nasibnya juga serupa, saat ia berada di tingkat akhir junior high school yang setara dengan SMP kelas 3, Jordan yang mempunyai tinggi 175 cmn hanya seorang guard remaja biasa tanpa prestasi dan skill yang diatas rata-rata. Namun kecintaannya dengan bola basket semakin lama semakin besar, bersama saudaranya Larry, Jordan setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain basket di lapangan yang terletak dibelakang rumahnya. Larry yang berusia lebih tua dari Jordan awalnya selalu mendominasi permainan, namun pada akhirnya Jordan berhasil melewatinya dan berhasil mengalahkan saudaranya tersebut. Dari sanalah kecintaannya terhada bola basket semakin meningkat.

Saat ia masuk ke senior high school, Jordan justru mendapat pukulan keras, kecintaannya terhadap olah raga ini ternyata masih belum cukup untuk membuatnya masuk kedalam daftar tim utama sekolahnya, Laney High School yang terletak di North Carolina. Jordan bahkan melihat daftar tim berulang-ulang untuk memastikan namanya benar-benar tidak tercantum. Jordan muda begitu kecewa hingga ia meneteskan air matanya dan mengunci dirinya di kamar selama beberapa saat. Ibunda Jordan, Deloris, berusaha untuk mengangkat kekecewaan anaknya agar terus semangat dan kembali berlatih,


"Saya lalu meminta Jordan untuk berlatih lebih keras. Tapi saya menambahkan bahwa jika dirinya telah berusaha dengan keras dan tetap gagal, berarti itu memang bukan nasibnya,” begitu nasihat bijak dari sang ibunda.

Meski pada akhirnya ia masuk ke tim Junior, ia tetap menyimpan kekecewaan yang besar karena pada awalnya ia cukup yakin bisa masuk ke tim utama tim. Namun justru dari kekecewaan itulah kita dapat melihat permainan brilian dari Jordan. Sejak penolakannya itu, ia semakin gila menerpa dirinya dalam berlatih. Berjam-jam ia menghabiskan seluruh waktunya untuk berlatih, ia bahkan seringkali menyimpan tenaganya dalam bermain di pertandingan junior karena ingin lebih fokus dan memiliki tenanga saat berlatih, karena memang tujuan utamanya adalah bermain bagi tim senior. Sifat kompetetifnya itulah yang pada akhirnya membuahkan hasil.

"Saya tidak mau lagi merasakan itu. Mulut pahit dan perut terasa mulas," kenang Jordan mengenang kegagalannya saat masih sekolah dulu. Dalam salah satu iklan dari produk Nike, Jordan pernah mengatakan kisah karirnya yang tidak melulu berjalan mulus.

"Sepanjang karier saya, lebih dari 9.000 tembakan saya meleset. Saya pernah kalah dalam 300 pertandingan. Setidaknya, 26 kali saya dipercaya untuk melakukan tembakan penentu kemenangan dan gagal. Saya telah berkali-kali menemui kegagalan dalam hidup saya, dan itulah sebabnya saya bisa berhasil."

Etos kerjanya untuk berlatih bola basket terus ia bawa hingga ia masuk ke Universitas North Carolina, walau sudah menjadi pemain yang besar sekalipun, ia selalu menjalankan latihan yang lebih berat dibanding rekan-rekannya. Ia bahkan selalu berlatih jump shoot diwaktu luangnya sendiri. Sadar karena tinggi badannya yang standar saja bagi pemain basket, ia sadar bahwa dirinya harus mempunyai tembakan yang akurat. Jordan selalu menjadi orang pertama yang datang ke tempat latihan dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan latihan.

http://www.youtube.com/watch?v=MtW678Tk2dY&feature=player_embedded

"Biasanya saya tiba di sekolah antara jam 07.00 dan 07.30 pagi. Michael ada di sana sebelum aku. Setiap kali saya datang dan membuka pintu, aku mendengar suara bouncing bola, di musim gugur, di musim dingin, di musim panas. Hampir setiap pagi saya harus meminta dia untuk meninggalkan lapangan." Tutur Rubby Staton, salah seorang instruktur olah raga di universitas-nya.

Dengan tinggi 183 cm saat di bangku universitas, Jordan tetap saja hanya memiliki tinggi yang tidak istimewa, maka ia harus meningkatkan keterampilan lainnya seperti mencetak angka maupun assist. Pada akhirnya ia menjadi pemain yang jauh diatas rata-rata rekannya di tim. Hingga pada akhirnya timnya di universitas dibangun dengan berpusat pada sosok Jordan. Ia bisa mencetak 25 sampai 40 poin dalam pertandingan.

Berkat kehebatannya selama di universitas, jalan Jordan menuju NBA berjalan sangat mulus, sejak masuk ke Chicago Bulls kariernya bergitu cemerlang, and the rest is history, Anda pasti sudah mengenal kisahnya bukan?

NBA Championship 6 kali, trofi MPV 5 kali, selusin All-Star game, gelar NCAA dan dua medali emas Olimpiade. Ialah Michael Jeffrey Jordan, salah satu pria paling sukses dalam olah raga bola basket. Dibalik kegagalannya di masa lalu, ia sukses menyulapnya menjadi kunci kesuksesannya hingga akhir kariernya.

"Saya siap untuk menerima kegagalan. Semua orang mungkin gagal. Tapi aku tidak ingin melihat bahwa saya tidak mencoba. " – Michael Jordan.


SUMBER :By Kevin Irwan
19 February 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar